Komunitas Bumi Bajra telah menampilkan sebuah karya yang terinspirasi oleh mitologi Bali dalam sebuah pertunjukan berjudul “Hyang Ratih: Ode untuk Bulan, Perempuan, dan Semesta.” Pertunjukan ini berlangsung di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada Festival Musikal Indonesia, yang diselenggarakan pada Jumat, 14 November 2025.
Kisah yang diangkat berfokus pada sosok legendaris dikenal sebagai Kala Rau, yang merupakan simbol dari kekuatan dan penantian. Diceritakan bahwa Kala Rau berusaha mengakses tirta keabadian agar ia bisa terlahir kembali sebagai sosok yang lebih berkuasa.
Namun, penampilan menyeluruhnya sebagai dewa berhasil terendus oleh Dewi Ratih, yang merupakan sosok bulan, dan situasi ini memicu murka para dewa. Dalam aksi kepahlawanan, Dewa Wisnu segera menghukum Kala Rau dengan memenggal kepalanya, menyisakan hanya kemarahan dan dendam dalam sosoknya.
Selanjutnya, Kala Rau yang kini terputus dari tubuhnya menyimpan kebencian mendalam terhadap Dewi Ratih. Dengan tujuan menghabisi bulan yang ia anggap sebagai sipir keberuntungannya, upaya ini menjadi mitos yang menjelaskan fenomena gerhana bulan dalam kepercayaan masyarakat.
Pertunjukan ini dirancang dalam waktu yang terbatas, dengan persiapan hanya selama seminggu, meski pelatihan intensif dilakukan untuk memadukan unsur musik dan tarian. Menurut komposer pertunjukan, Ida Made Adnya Gentorang, timnya berhasil menampilkan pertunjukan yang memukau dalam jangka waktu yang sempit.
Bumi Bajra menegaskan bahwa esensi dari pertunjukan ini bukan sekadar menyampaikan cerita dengan cara yang seragam. Sebaliknya, komunitas ini memberikan kebebasan kepada penonton untuk memahami dan menafsirkan karya tersebut dengan cara mereka sendiri.
Makna Tersembunyi di Balik Cerita Hyang Ratih
Di balik setiap elemen dalam pertunjukan “Hyang Ratih,” tersimpan lapisan makna yang dalam. Kisah Kala Rau tidak hanya sekadar cerita mitos, melainkan sebuah refleksi tentang ambisi dan konsekuensi dari tindakan kita dalam mengejar sesuatu yang mungkin tidak seharusnya kita miliki.
Kemarahan Kala Rau terhadap Dewi Ratih juga bisa dilihat sebagai simbol dari rasa iri dan ketidakpuasan. Keterasingan yang dialaminya setelah kehilangan tubuh mencerminkan rasa putus asa yang sering dialami oleh manusia ketika menghadapi kehilangan atau ketidakadilan.
Dengan pendekatan ini, penonton diharapkan dapat menjelajahi dan menemukan makna baru dalam cerita tersebut. Tidak ada interpretasi yang benar atau salah, melainkan perspektif yang dapat membawa pengalaman berbeda bagi setiap individu.
Pementasan ini juga menggugah pertanyaan penting tentang hubungan antara manusia dan dewa, serta bagaimana kekuatan semesta memengaruhi kehidupan kita. Sebuah narasi yang mendalam, di mana penggambaran interaksi antara karakter menghadirkan konflik yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Persiapan dan Pelaksanaan Pertunjukan yang Terbatas
Menariknya, meski waktu persiapan yang singkat, tim Bumi Bajra mampu membawa keindahan mitologi Bali ke panggung. Proses kreatif ini dimulai dengan diskusi intensif dan latihan yang mengedepankan kolaborasi antara para seniman, penari, dan musisi.
Keseimbangan antara aspek visual dan audio menjadi fokus utama, dengan setiap elemen saling memperkuat pesan cerita. Konsep ini tidak hanya mengutamakan keindahan, tetapi juga penangkapan esensi dari mitologi yang diangkat.
Pendekatan artistik yang diambil oleh Bumi Bajra menunjukkan bahwa seni pertunjukan bisa dihadirkan dalam kerangka waktu yang terbatas tanpa mengorbankan kualitas. Ketekunan dan dedikasi seluruh tim menjadi kunci utama dalam keberhasilan pertunjukan ini.
Dari serangkaian latihan yang singkat, penampilan yang dihasilkan menampakkan kepiawaian para seniman dalam menginterpretasi karakter dan emosi. Penonton pun terpesona oleh kompleksitas dan kedalaman cerita yang dihadirkan di atas panggung, meskipun latar belakang waktu yang sangat terbatas.
Pandangan Penonton Terhadap Pertunjukan yang Mempesona
Respons penonton terhadap pertunjukan “Hyang Ratih” sangat positif, dengan banyak yang mengaku terinspirasi oleh makna yang terkandung. Penonton diberikan kebebasan untuk menafsirkan setiap elemen, menjadikan mereka bagian dari pengalaman yang lebih mendalam.
Sebagian penonton merasa bahwa pertunjukan ini adalah ajakan untuk berpikir kritis tentang kehidupan, ambisi, dan bagaimana semua itu terhubung dengan mitos yang telah ada sejak lama. Pengalaman ini menciptakan dialog antara penonton dan pertunjukan yang membuat setiap individu merasa terlibat.
Komunitas Bumi Bajra pun meninjau umpan balik tersebut sebagai bagian dari proses kreatif mereka. Merefleksikan respons masyarakat terhadap seni memungkinkan mereka untuk terus berinovasi di masa mendatang.
Dengan demikian, “Hyang Ratih” bukan hanya sebuah pertunjukan seni, tetapi juga perjalanan emosional yang mengundang penonton untuk mendalami makna di balik cerita klasik yang dihidupkan kembali. Karya ini berhasil menunjukkan bahwa mitologi tetap relevan dan bisa dibawa ke dalam konteks kehidupan modern.
